Jakarta, 11 April 2019 (Suarahati Nyus). Wanda (61) dan Saroni (67), pasangan suami istri asal Tegal yang saat ini berprofesi sebagai pengemudi ojek pangkalan dan penjual minuman, telah menjalani perubahan-perubahan tantangan dalam mencari penghasilan hidup di Jakarta selama beberapa dekade. Mereka beserta anak-anaknya tinggal di Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
![]() |
Pak Wanda, sumber: Suarahati Nyus |
Saroni dan Wanda, keduanya lahir di Tegal. Mereka tinggal di Jakarta sudah lama. Sejak tahun 1964, Saroni telah bekerja di Jakarta. Dia menginjakkan kaki di Jakarta pertama kali di usia 12 tahun membantu pamannya berjualan makanan di samping Bunderan Pancoran (sekarang perempatan Pancoran.Red) dekat Patung Dirgantara. “dulu namanya bukan Perempatan Pancoran, tapi Bunderan Pancoran. Jalan ke arah Pasar Minggu ataupun ke arah Manggarai masih kecil sekali, tidak seperti sekarang”, cerita Saroni dengan semangat. Dia bertemu dengan Wanda dan selanjutnya menikah juga di perempatan Pancoran ini.
Sedangkan Wanda sejak usia remaja memulai hidup di Jakarta sebagai tukang Becak. Setelah ada larangan becak beroperasi di wilayah DKI Jakarta tahun 1990, maka Wanda alih profesi sebagai tukang ojek. Wanda menjalankan profesi tukang ojek dengan mangkal di Jalan Pancoran Timur, Jakarta Selatan. Namun profesi tukang ojek pangkalan pun dihentikan setelah kalah bersaing dengan ojek online.
![]() |
Bu Saroni, sumber: Suarahati Nyus
|
Sebelum adanya moda transportasi berbasis online seperti Gojek dan Grab, Wanda bisa mendapatkan 100 hingga 200 ribu rupiah perhari, namun seiring dengan meningkatnya popularitas Gojek dan Grab, penghasilan sebagai tukang ojek pangkalan kini menurun drastis. “Hilang, sekarang ngga ada lagi yang mesen,” ungkap Wanda. Penurunan keadaan ekonomi juga dialami oleh Saroni, yang sebelumnya pernah mempunyai warung makan berupa warteg. Saroni berkisah, “Keuangan (Gedung Kementerian Keuangan dimana dulu dia memiliki usaha warteg) saya usaha sejak dari mulai kebon kosong. Saya kalau dari sana digusur kemari, digusur kesana, pas Gubernur Sutiyoso juga saya berdagang 49 tahun, Situ (reporter berita) belum lahir.” Terakhir kali Saroni mengalami penggusuran pada tahun 2010 sebelum berjualan minuman seperti sekarang. “Kita yang Lina (nama anak Saroni) nikahan tahun 2010 apa ya, ya tahun 2010 anak saya nikahan,” kenang Saroni.
![]() |
Contoh minuman yang dijual Saroni: Es jeruk dari minuman sachet dan Es teh
|
Saroni masih merasa beruntung walaupun penghasilan suaminya sebagai pengemudi ojek pangkalan turun tajam, dia masih dapat berjualan minuman di depan gudang Sarinah Ekosistem. “Iya, ini kan lumayan seribu-seribu, kalau satu orang beli satu, (untungnya) seribu,” kisah Saroni sambil menunjukkan kopi sachet sebagai salah satu bahan minuman yang dia jual. Saat ini tempat berjualan Saroni sendiri tidak memiliki status, menumpang di depan gudang Sarinah Ekosistem. Saroni berucap, “Iya untung, saya mah bukan apa-apa, untung Sarinah ngerti.” Itupun, jumlah pelanggan Saroni tidak sebanyak dulu, dia berkisah, “Iya, sekarang sepi. Tahun-tahun dulu rame. Yang namanya sementara engga, namanya kan gudang, dibangun ya, namanya kita numpang, kita ngerti.”
Wanda & Saroni telah menjalani pekerjaan demi pekerjaan demi mencari nafkah untuk keluarga mereka. Saat ini 4 dari 5 anak mereka telah menikah dan bekerja sedangkan anak yang paling kecil telah lulus SMA dan saat ini sedang mencari pekerjaan. Wanda & Saroni telah memiliki 7 cucu. Walaupun terbilang berhasil mampu menyekolahkan kelima anaknya, namun saat ini keadaan ekonomi anak-anak mereka masih berkutat dengan ekonomi keluarga mereka masing-masing, mau tidak mau Wanda & Saroni tetap harus mencari mata pencaharian sendiri.
Pada akhirnya, pembangunan dan kemajuan ekonomi Jakarta memang berdampak positif pada mayoritas penduduknya, namun kita tidak boleh lupa dengan orang-orang terpinggirkan seperti Wanda dan Saroni yang jumlahnya tentu tidak sedikit, yang menandakan ketimpangan sosial di sekitar kita memang nyata.
Oleh Fahd Badrun, Rina Yasmita, Cipto Prasetyo, Agung Ariwibowo, dan Anggoro K. Sejati
Komentar
Posting Komentar